Pada tanggal 8 april 1873, kapal Citadel Van Antwerpen memuntahkan peluru meriam kedaratan Aceh sebagai petanda dimulainya perang terhadap Aceh, pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari para pejuang Aceh, bahkan pemimpin pasukan Jendral Kohler tewas di bedil pada 14 april 1873 di depan Masjid Raya. Belanda mundur dan kembali ke Batavia, Aceh untuk pertama kalinya menang menghadapi penjajah Belanda.

  Dan ini menjadi awal perang-perang Aceh-Belanda yang dimulai pada tanggal 26 maret 1873 dan berakhir pada 12 maret 1942 bersamaan dengan mendarat nya pasukan Dai Nippon. Perang panjang dan sengit yang menewaskan ratusan ribu orang ini dan 2000 orang serdadu Belanda terbaring kaku di kerkof menjadi bukti sejarah betapa berat perjuangan dalam merebut Aceh, bahkan empat orang Jendral Belanda mati di tanah rencong.

  Belanda pun mengirim Snouck Horgronje ke Mekah untuk mempelajari kultur masyarakat Aceh yang tahan perang, sehingga para politisi Belanda berucap 'cukup sudah' dan berharap perang segera di akhiri, pesan ini sangat terkenal di Belanda, dimana mereka sangat prihatin dengan dana dan akibat perang yang mereka alami selama menaklukkan Aceh.

  Belanda akhir nya meninggalkan Aceh, mereka kabur dari Aceh setelah Dai Nippon mendarat di Kutaraja pada jam 23.00 WIB, 11 maret 1942. Mendarat nya Jepang atas bantuan PUSA yang di pimpin oleh Tgk Daud Beureueh yang diikuti dengan mobilisasi pasukan Jepang dengan cepat untuk menangkap Jendral R T Overekker, komandan teritorium Sumatra tengah yang mengungsi ke Gayo pada tanggal 28 maret 1942.

  Aceh adalah daerah terakhir yang dimasukkan kedalam pemerintahan Hindia Belanda yang melahirkan Indonesia dan Aceh juga yang pertama keluar dari pemerintah Hindia Belanda. Bahkan ketika agresi militer sekutu pada tahun 1946 dan 1947 menduduki seluruh wilayah Indonesia dan Presiden Sukarno ditangkap, maka roda pemerintah RI sempat berpusat di Kutaraja dibawah komando PDRI pimpinan Syarifuddin Prawiranegara.