DR KHAEDAR NASHIR - Suatu kali Wabishah Ibn Ma'bad datang kepada Rasulullah. "Engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?", tanya Nabi. "Ya, betul Nabi", ujar Wabishah. Lalu Nabi bersabda: "Mintalah pertimbangan pada hatimu. Kebaikan itu merupakan sesuatu yang menyebabkan jiwa tenang dan menjadi tenang pula hatimu. Adapun dosa itu sesuatu yang meragukan dalam hatimu walaupun seseorang memberikan fatwa kepadamu dan membenarkannya" (HR Imam Ahmad dan Ad-Darimi).
Nabi mengajarkan kepada kita betapa pentingnya mendengarkan suara hati yang jernih. Orang sering menamakannya hati kecil. Hati selalu jujur dan tahu persis mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Selain Allah yang Maha Mengetahui maka hati itulah yang menjadi penjaga dan pengawas dari si empunya secara jujur dan tanpa dusta.
Namun tidak semua orang mau mendengarkan suara hati, lebih-lebih ketika berbuat dosa yang menyenangkan diri seperti berpacaran sebelum nikah. Tidak jarang orang marah bila diingatkan ketika berbuat salah. Orang lebih suka terjerumus pada salah dan dosa yang memberinya kesenangan sementara dan kerugian berkepanjangan ketimbang mendengar nasihat orang dan suara dari hatinya.
Inilah manusia yang kehilangan ke-otentikan dan fitrah dari hatinya. Mereka memiliki hati tetapi tidak pernah mau mendengar bisikannya yang jernih dan lurus, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat kesempatan untuk beramal shalih, dan memiliki pendengaran namun tidak digunakan untuk mendengar kebaikan. Mereka laksana hewan, bahkan lebih rendah dari hewan, demikian firman Allah dalam Al-Quran (QS Al-'Araf: 179).